Pada akhir 1980-an, AC Milan bangkit dari krisis menjadi raksasa sepak bola dunia berkat trio Belanda: Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Di bawah asuhan Arrigo Sacchi, ketiganya mengubah wajah sepak bola Italia. Mereka membawa dua gelar Piala Eropa, tiga Scudetto, dan gaya permainan revolusioner. Trio ini, yang bergabung antara 1987 dan 1988, menciptakan era keemasan Rossoneri. Kombinasi bakat, kekuatan, dan visi mereka menjadikan Milan tim paling ditakuti di Eropa.
Milan menghadapi masa sulit pada awal 1980-an akibat skandal Totonero dan dua kali degradasi ke Serie B. Silvio Berlusconi membeli klub pada 1986, menunjuk Sacchi sebagai pelatih. Sacchi, dengan filosofi calcio totale, menginginkan pemain serbabisa. Trio Belanda menjadi tulang punggung visinya. Gullit tiba pada 1987 dari PSV Eindhoven seharga 6 juta pound, rekor dunia saat itu. Van Basten menyusul dari Ajax dengan biaya 1,75 juta pound. Rijkaard bergabung pada 1988 dari Real Zaragoza. Ketiganya membawa bakat khas Belanda: teknik tinggi, kecerdasan taktik, dan fisik kuat.
Kedatangan dan Peran Gullit
Ruud Gullit, dengan rambut kuncir ikonik, adalah pemimpin lapangan. Ia memenangkan Ballon d’Or 1987 sebelum bergabung dengan Milan. Sebagai gelandang serang, Gullit menggabungkan kekuatan, kecepatan, dan visi. Ia sering mencetak gol krusial dan mengatur tempo permainan. Pada musim debutnya (1987-88), Gullit mencetak sembilan gol di Serie A. Ia membantu Milan meraih Scudetto pertama sejak 1979, mengakhiri dominasi Napoli. Golnya melawan Verona di pekan terakhir memastikan gelar. Fleksibilitas Gullit memungkinkan Sacchi menerapkan pressing tinggi dan transisi cepat.
Gullit juga bersinar di Piala Eropa 1988-89. Ia mencetak dua gol di final melawan Steaua București, membawa Milan menang 4-0. Total, Gullit mencetak 56 gol dalam 171 laga untuk Milan. Ia memenangkan Ballon d’Or lagi pada 1988. Selain skill, karismanya menginspirasi rekan setim seperti Paolo Maldini dan Franco Baresi. Namun, cederanya pada 1993-94 membatasi kontribusinya di akhir karier Milan.
Kejeniusan Van Basten
Marco van Basten adalah striker terbaik dunia pada masanya. Ia tiba di Milan pada 1987 dengan tiga gelar Eredivisie dan top scorer Eropa. Meski cedera kaki memengaruhi musim debutnya, Van Basten bangkit pada 1988-89. Ia mencetak 19 gol di Serie A dan 10 di Piala Eropa, termasuk dua di semifinal melawan Real Madrid. Di final 1989, ia mencetak dua gol bersama Gullit. Van Basten juga menjuarai Euro 1988 dengan Belanda, mencetak voli ikonik melawan Uni Soviet.
Puncak kariernya terjadi pada 1991-92. Van Basten mencetak 25 gol, memenangkan Capocannoniere dan Scudetto tanpa kekalahan. Ia meraih Ballon d’Or pada 1988, 1989, dan 1992. Total, ia mencetak 125 gol dalam 201 laga untuk Milan. Sayangnya, cedera pergelangan kaki memaksanya pensiun pada 1995 di usia 30. Gol terakhirnya melawan Ancona pada 1993 tetap dikenang. Van Basten dikenal karena akurasi tembakan, sundulan, dan kemampuan mencetak gol akrobatik.
Fondasi Rijkaard
Frank Rijkaard, gelandang bertahan, adalah penyeimbang trio. Ia bergabung pada 1988 setelah musim singkat di Zaragoza. Rijkaard membawa kekuatan fisik dan kecerdasan taktik. Ia menghubungkan lini belakang dengan serangan, sering merebut bola dan menginisiasi serangan balik. Pada 1989-90, ia mencetak gol kemenangan di final Piala Eropa melawan Benfica, membawa Milan menang 1-0. Rijkaard juga berkontribusi pada Scudetto 1992-93 di bawah Fabio Capello.
Rijkaard mencetak 26 gol dalam 201 laga untuk Milan. Perannya krusial dalam sistem pressing Sacchi. Ia sering menutup ruang lawan, memungkinkan Gullit dan Van Basten menyerang. Rijkaard juga memenangkan Euro 1988 bersama rekan senegaranya. Fleksibilitasnya memungkinkan Milan bermain dengan formasi 4-4-2 atau 4-3-3. Ia meninggalkan Milan pada 1993 untuk kembali ke Ajax, di mana ia memenangkan Liga Champions 1995.
Dampak dan Trofi
Trio Belanda membawa Milan meraih tiga Scudetto (1987-88, 1991-92, 1992-93), dua Piala Eropa (1989, 1990), dua Piala Super Eropa (1989, 1990), dan dua Piala Interkontinental (1989, 1990). Gaya permainan mereka menggabungkan disiplin Italia dengan kreativitas Belanda. Sacchi menerapkan zona marking dan pressing agresif, yang dijalankan sempurna oleh trio ini. Milan tak terkalahkan di Serie A 1991-92, mencatat 58 laga tanpa kekalahan, rekor hingga kini.
Mereka juga mendominasi rival seperti Inter Milan dan Juventus. Derby della Madonnina sering dimenangkan Milan, dengan Van Basten kerap mencetak gol. Pada 1989, Milan menghancurkan Real Madrid 5-0 di semifinal Piala Eropa, menunjukkan superioritas mereka. Trio ini juga menginspirasi generasi berikutnya, termasuk Zinedine Zidane dan Ronaldo, yang mengagumi gaya mereka.
Warisan Abadi
Trio Belanda meninggalkan Milan pada pertengahan 1990-an, tetapi warisan mereka abadi. Van Basten masuk AC Milan Hall of Fame, dianggap sebagai salah satu striker terhebat. Gullit menjadi simbol karisma dan kepemimpinan. Rijkaard, yang kemudian melatih Barcelona, dihormati sebagai gelandang serbabisa. Bersama, mereka mengoleksi 207 gol untuk Milan. Seragam merah-hitam Rossoneri menjadi ikon global berkat mereka. Hingga kini, penggemar mengenang era 1987-1993 sebagai puncak kejayaan Milan, dengan trio Belanda sebagai jantungnya.