Drama Epik AC Milan vs Liverpool Final Liga Champions 2005 di Istanbul

Sejarah AC Milan

Final Liga Champions 2004-05 antara AC Milan dan Liverpool di Stadion Atatürk, Istanbul, pada 25 Mei 2005, dikenal sebagai “Miracle of Istanbul.” Laga ini menjadi salah satu pertandingan paling dramatis dalam sejarah sepak bola. Milan, yang diperkuat bintang seperti Paolo Maldini dan Andriy Shevchenko, unggul 3-0 di babak pertama. Liverpool, di bawah asuhan Rafael Benítez, melakukan comeback luar biasa di babak kedua, menyamakan kedudukan 3-3, dan memenangkan trofi lewat adu penalti. Pertandingan ini mengguncang dunia sepak bola dan tetap dikenang hingga kini.

Milan datang sebagai favorit. Mereka memiliki skuat bertabur bintang, termasuk Kaká, Andrea Pirlo, dan Filippo Inzaghi. Liverpool, yang finis kelima di Liga Inggris, dianggap underdog. Namun, semangat Steven Gerrard dan rekan-rekannya mengubah sejarah. Laga ini menarik 70.024 penonton dan disiarkan ke jutaan pemirsa global. Drama, emosi, dan ketegangan menjadikan final ini legendaris.

Bacaan Lainnya

Dominasi Milan di Babak Pertama

Milan membuka keunggulan hanya 50 detik setelah kick-off. Paolo Maldini mencetak gol tercepat dalam sejarah final Liga Champions saat itu. Gol ini berasal dari tendangan bebas Pirlo yang disundul Maldini. Milan terus menyerang dengan lincah. Kaká mengatur permainan di lini tengah, sementara Shevchenko mengancam gawang Jerzy Dudek. Pada menit ke-39, Hernán Crespo mencetak gol kedua setelah umpan terobosan dari Kaká. Lima menit kemudian, Crespo mencetak gol kedua pribadinya, memanfaatkan umpan Shevchenko. Skor 3-0 di babak pertama membuat Milan tampak tak terbendung. Penggemar Liverpool di stadion terdiam, sementara Rossoneri merasa trofi sudah di tangan.

Kebangkitan Heroik Liverpool

Babak kedua menjadi titik balik. Liverpool, yang tertinggal tiga gol, bangkit dengan semangat luar biasa. Steven Gerrard memimpin comeback dengan sundulan pada menit ke-54, memanfaatkan umpan John Arne Riise. Gol ini membangkitkan harapan. Dua menit kemudian, Vladimír Šmicer melepaskan tembakan jarak jauh yang menembus gawang Dida, memperkecil skor menjadi 2-3. Pada menit ke-60, Gerrard dilanggar di kotak penalti. Xabi Alonso gagal mengeksekusi penalti, tetapi ia cepat menyambar bola muntah dan mencetak gol penyama kedudukan 3-3. Tiga gol dalam enam menit mengguncang Milan dan stadion. Comeback ini, yang disebut “enam menit ajaib,” mengubah momentum sepenuhnya.

Liverpool bermain dengan percaya diri setelah menyamakan skor. Milan, yang kehilangan ritme, berjuang untuk bangkit. Di waktu tambahan, Shevchenko nyaris mencetak gol kemenangan. Ia melepaskan sundulan dari jarak dekat, tetapi Dudek melakukan penyelamatan ganda luar biasa. Kedudukan tetap 3-3 hingga peluit akhir, memaksa laga berlanjut ke adu penalti.

Adu Penalti yang Menegangkan

Adu penalti menjadi puncak drama. Milan, yang memiliki eksekutor seperti Pirlo dan Shevchenko, diunggulkan. Namun, Dudek, kiper Liverpool, tampil heroik. Ia mengacaukonsentrasi lawan dengan gerakan “spaghetti legs,” terinspirasi dari Bruce Grobbelaar. Serginho, penendang pertama Milan, gagal. Dudek kemudian menepis tendangan Pirlo. Liverpool unggul setelah Dietmar Hamann dan Djibril Cissé mencetak gol. Jon Dahl Tomasson membalas untuk Milan, tetapi Kaká juga gagal. Šmicer mencetak gol penalti terakhir untuk Liverpool, sementara Shevchenko, eksekutor kelima Milan, gagal setelah tembakannya diblok Dudek. Liverpool menang 3-2 di adu penalti, meraih gelar Liga Champions kelima mereka.

Dampak dan Warisan

Kemenangan Liverpool mengejutkan dunia. Media menyebutnya sebagai “comeback terhebat dalam sejarah sepak bola.” Gerrard, yang nyaris pindah ke Chelsea sebelum final, menjadi simbol perjuangan. Milan, yang kehilangan trofi di detik-detik akhir, merasakan kekecewaan mendalam. Shevchenko, yang gagal di penalti, menyebut laga ini sebagai momen terberat dalam kariernya. Namun, Milan membalas dendam pada final 2007 di Athena, mengalahkan Liverpool 2-1 lewat dua gol Inzaghi.

Final 2005 memperkuat reputasi Liga Champions sebagai kompetisi penuh kejutan. Istanbul menjadi simbol harapan bagi tim underdog. Laga ini juga mengukuhkan Derby della Madonnina sebagai rivalitas global, meski kali ini melibatkan klub Inggris. Hingga kini, penggemar Rossoneri dan Liverpool mengenang laga ini dengan emosi beragam. Bagi Liverpool, ini adalah keajaiban. Bagi Milan, ini adalah mimpi buruk yang tak terlupakan.

Pos terkait